Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Silahkan! Aku pasrah

Aku sepi yang menggeliat Tiada ujung, berputar terus menerus Berjalan tanpa menahu arah Kaki melangkah pelan, hati tertinggal Batin menderu.. Klise masa lalu mencuat perlahan Menyiratkan potongan memori yang perlahan redup Ku kira aku pernah bahagia, dahulu. Saat ini, Apalagi yang ku harap, sementara harapan sudah terkubur Lenyap digerogoti takdir yang datang bersamaan Tanpa ada rasa malu tuk mencekik.. Aku pasrah, itu saja. Kalaupun Sang Pemilik jiwa memanggilku sekarang, silahkan. Karena aku, tak lagi punya apa-apa. (Pangkep, 31 Desember 2019, pukul : 16.08 Wita)

Itu Kataku.

Situasi mengirimku kembali pada satu titik Pusat revolusi dimana aku memulai Ku pikir semua akan mudah; itu teoriku Tidak; semua masih terkesan kaku Masih begitu; tak lagi ada yang berubah Berkutat selama 7 tahun, Membuatku semakin sadar; aku kembali pada titik yang sama Berkawan derita, berteman dengan pilu Dihujat derasnya air mata yang tak pernah ada habisnya Tak kering selama itu tentangnya. Caraku mengikutimu tak pernah akan sama; itu kataku Selamanya kau tetap kau, dan aku tetap aku Punya tujuan sama; proses yang berbeda Kemarilah, bicarakan semuanya Mungkin segelas kopi bisa menghangatkan kebekuan Meski dingin sudah kian merambat Entah hatiku yang kaku, atau kau yang terlalu dingin Sama saja; itu kataku Mencoba caramu bukan perkara mudah Aku pun ingin; sungguh Membiarkan tiap masalah yang datang Lantas berlalu bersama waktu Itu caramu; semakin ku coba semakin enggan aku terhindar Kau diam; semua lenyap tersapu dengan keadaan Aku diam; berita itu pada ...

Sekarat; Ibu Pertiwiku

Ibu Pertiwiku sekarat Tapi dia tak mati, jantungnya masih berpacu Matanya tertutup; tak sadarkan diri Ibu pertiwiku sekarat, Lukanya menganga; darahnya menyucur Sakitnya tiada kira Tapi dia masih harus bertahan Ibu pertiwiku sekarat, Namun telinganya tak tuli Teriakan anak kandung terdengar begitu jelas Memohon pertolongan pada sang ibu pertiwi Tapi dia tak lagi bisa bergerak Tubuhnya kaku terbaring lemah Ibu pertiwiku sekarat, Tapi dia tetap bernegosiasi pada Sang Pencabut nyawa Memohon agar tak dijemput Untuk Sekedar bangkit mengelus kepala anak kandungnya Membisikkan kata romantis penurun ego Agar Anak kandungnya berhenti saling melukai (Pangkep, 27 September 2019: Jumat, 12.08 Wita)

Aku Sendiri

Aku sepi menggerutu; Digelangga batas api daya Melangkah terseok hingga tak lagi gerak Aku diam; dibatas kesunyian yang membelenggu Tak ada lawan, tak ada kawan Sendiri mengais pilu yang tiada kesudahan Aku terikat; dimasa ini yang menilik masa lalu Membisu, tanpa bisa menengok masa depan Menyapa tujuan yang sudah lama pudar Dihalang kewajiban pada surga ditelapak kakinya Sementara kegaduhan diluar sana Berbisik keras menggunjingkan masa depanku yang suram Aku ingin tuli; tapi telingaku menolak Aku ingin buta; tapi mataku terlalu enggan Mereka ingin kuat menghadapi takdir pilu yang tiada ujung Namun, hatiku menangis. Meratapi nasib yang semakin rumit Aku; pada akhirnya sendiiri (Pangkep, 23 September 2019 : Pukul 08.40 Wita)

Dipasung Takdir

Aku terpasung; tapi tak di ikat Tubuhku bebas; tapi jiwaku tidak Aku menangis nyaring; tapi tak terdengar Tubuhku terlihat; tapi mentalku merana Aku tersesat; tak lagi ada jalan Petunjukku hilang; kembali pun jadi mustahil Aku terpasung; tapi tak diikat Harapku bersinar; mimpiku menghilang Khayalku diputus; tapi tak pernah terlihat Hatiku bersedih; tapi bibirku tersenyum Aku berduka; tapi dukaku sembunyi Biarlah, biarlah. Ku jalani sendiri Hingga aku benar-benar dipasung takdir seutuhnya (Pangkep, 03 September 2019. Pukul : 20.18 Wita)

Terimakasih; Datang Pada Mimpi

Malamku sepi, duka bernostalgia di ruang berbeda Tak lagi tentang kerasnya hidup Semua hilang, hingga entitas nya bisa dipahami sekali bisa Mungkin ini rindu, hingga alam bawah sadar ikut berpartisipasi 8 bulan tak pernah kau rasakan Apalah aku, yang menyusut tiap detik agar tiap kenangan tak pergi jauh Meninggalkanku, dalam keadaan yang berputus asa. Tak ada yang baik, kataku. Hidup kali ini seakan menyiksa tanpa ampun Membiarkan kamu, hidup dalam bayangku; itu saja. Bagaimana boleh; aku yang mencinta; aku juga merindu Dua beban yang semakin membuat putus asa memborbardir hidup sekali lagi Ah, kuratapi nasibku sekali lagi Kita; timbal balik yang sulit dipersatukan Terlalu rapat, celah yang dapat terlalui Berkali-kali; aku hidup dengan kata menyerah Sekali menghela napas; kau mengganggu mimpiku Merusak berserah diriku dengan kata kata rinduku Haruskah kau menyapa dalam mimpi ? Sementara kita bukan satu untuk saling merindukan; tak pernah. Semoga saja, langkah kita ...

Salahkan Lilin

Rutuki saja dunia, Salahkan semesta sesuka hati Caci maki teknologi yang menuju canggih itu Bukan lagi petromax, lilin sudah nyinyir lebih dulu memaki Menghujat tanpa rasa enggan Anomali... Lantaskah aku membantumu ? Mencaci makinya lebih dulu Mengutuknya seapik yang ku bisa Hingga kau bisa kembali merasakan tenang Tanpa ada siksa yang memagutmu Memberikan rasa tak nyaman mu. Entahlah, salah apa dia di masa lalumu Tapi kau tak patut ikut kuhujat Karena lagi, ini salah si lilin putih Sudah berani tercipta menggantikan sang petromax Tanpa tahu ada kamu yang lari terbirit-birit Terjungkal jungkal karena ketakutan Salahkan si lilin putih, Hidup dalam kekerdilan Namun berbisa menghancurkan Meluluhlantahkan dunia dalam sekejap api kecil nyala Suruh saja si lilin pergi, biarkan entitasnya lenyap Bukan kau yang hilang. Biarkan mereka mencarinya Hingga Tuhan memberi sebuah gratifikasi Tanpa tahu, kalau lilin pernah ada. #F

Karena, Uang Panai

Barangkali kau sudah melihat Rasa yang dikumandangkan seorang wanita Barangkali kau sudah mendengar Deskripsi kebahagiaan yang melanda wanita Kala pemuda mengajak nya mengarungi rumah tangga Aku pun demikian. Betapa mimpiku melambung jauh Ingin ku pula merasakannya Tapi, aku cukup tau diri. Perihal kau yang belum mampu Katanya, uang panai tak semudah itu Sungguh, aku tak mempersoalkan Katanya lagi, mungkin kamu tidak Tapi dengan keluargamu ? Yah, mimpiku lagi-lagi harus ku kubur Perihal adat yang mengharuskanmu berjuang Soal istiadat yang menguji sebesar apa cintamu Lantas, tetap ijinkan aku Menyelipkan namamu di doa ku Agar semoga kita tak lagi jadi khayalan

Di Ujung Labirin

Kau bisa saja lelah, mengutuk nyalimu Menyalahkan takdirmu sesuka hati Mendramatisasi kisahmu yang tetap sama Titik yang kian tak bergerak Namun, berani lah mencoba. Barangkali, kau akan kembali Untuk ke titik yang sama, Pola yang berbeda. Tapi, jalani saja. Jangan berhenti. Selama jiwa dan tubuhmu saling terkait Tetap cari jalan keluar dari labirin hidup mu sendiri Sebab ujung kebahagiaanmu tak pernah dapat kau tahu Kecuali kau sendiri yang melakukan prosesnya Bak seperti musim yang kau hadapi Kemarau dan musim hujan.. Barangkali yang kau tahu, Kau hanya akan bertemu kemarau di juni Namun, takdir menjawab lain. Hujan malah menyapamu di bulan Juni Demikian, seperti itulah kisah. Apa yang kau ingin belum tentu apa yang terjadi Apa yang kau takutkan belum tentu itu mengerikan. Semua hanya tentang bagaimana kau menyikapinya.

Lantas, Kau Kembali

Entah, sajak seperti apa yang akan ku tulis Untuk mendefinisikanmu yang telah nampak abu-abu Akibat ulahku yang serba berlebihan. Berlebihan mendekatimu, Lalu berlebihan memperhatikanmu,  Hingga berlebihan Menyukaimu. Pernah, sesekali pikirku merenung. Atas kepergianmu yang tlah ku prediksikan Bahwa kepergianmu karena mu sendiri, Ulahmu yang bertemu sang penakluk Namun, sekali lagi aku keliru. Sebab ini tentang salahku Egoku yang mudah terbuai Oleh romantisme sayang yang ia janjikan Ucapan mesra yang ia lantangkan. Namun, lagi lagi aku takluk.. Terbuai oleh rasa bosan yang menggelayutiku Terbelenggu penat yang tak tahan pada temu Lantas, aku harus bagaimana ? Ketika penasaranku tak pernah menciut Pada mereka yang terlalu acuh, Lalu roboh dalam satu masa. Kemudian, aku belajar pasrah. Membiarkan semuanya berjalan begitu saja Tanpa tahu bagian epilog dari hidupku sendiri, Hingga kau yang begitu menyulitkanku Kau yang ku prediksikan telah lama jauh, menyentilku h...